Kamis, 13 Juni 2013

70. DINAMIKA PARTAI POLITIK

  Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).  Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan;
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat lah besar.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.
Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment), tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment).
Untuk menghindarkan terjadinya percampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional. Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, supaya sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat jelas hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon 5, 4, 3, 2, sampai ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di perguruan tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya adalah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.
Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.

3. Kelemahan Partai Politik

Adanya organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Di antaranya ialah bahwa organisasi partai cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri. Seperti dikemukakan oleh Robert Michels sebagai suatu hukum besi yang berlaku dalam organisasi bahwa
Organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas para pemilihnya, antara si mandataris dengan si pemberi mandat dan antara si penerima kekuasaan dengan sang pemberi. Siapa saja yang berbicara tentang organisasi, maka sebenarnya ia berbicara tentang oligarki”.
Untuk mengatasi berbagai potensi buruk partai politik seperti dikemukakan di atas, diperlukan beberapa mekanisme penunjang. Pertama, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal ini sangat penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar (constitution of the party) dan anggaran rumah tangga partai politik bersangkutan yang ditradisikan dalam rangka “rule of law”.
Di samping anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan, perlu diperkenalkan pula sistem kode etika positif yang dituangkan sebagai “Code of Ethics” yang dijamin tegaknya melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di dalam dinamika internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus, yaitu “Code of Law” yang tertuang dalam anggaran dasar (constitution of the political party), “Code of Conduct” (code of organizational good conducts) yang tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan “Code of Ethics” dalam dokumen yang tersendiri. Dengan demikian, norma hukum, norma moral, dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif membangun kultur internal setiap partai politik. Aturan-aturan yang dituangkan di atas kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktek, sehingga prinsip ‘rule of law’, dan ‘rule of ethics’ dapat sungguh-sungguh diwujudkan, mulai dari kalangan internal partai-partai politik sebagai sumber kader kepemimpinan negara.
Di dalam ketiga kode normatif tersebut tersedia berbagai prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan anggota, pengaturan mengenai lembaga-lembaga internal, mekanisme hubungan lembaga-lembaga, serta mekanisme penyelesaian konflik yang elegan dan dapat dijadikan pegangan bersama. Dengan begitu setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict).
Kedua, mekanisme keterbukaan partai melalui mana warga masyarakat di luar partai dapat ikut-serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Partai politik harus dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat dalam turut menentukan bekerjanya sistem kenegaraan sesuai aspirasi mereka. Karena itu, pengurus hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya.                    Untuk itu, diperlukan perubahan
paradigma dalam cara memahami partai dan kegiatan berpartai. Menjadi pengurus bukan lah segala-galanya. Yang lebih penting adalah menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, jika menjadi status sebagai menjadi faktor penentu terpilih tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat, maka setiap orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan pimpinan puncak partai politik.
Akibatnya, menjadi pengurus dianggap keharusan, dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat. Dua-duanya dirangkap sekaligus, dan untuk seterusnya partai politik hanya akan berfungsi sebagai kendaraan bagi individu para pengurusnya untuk terus mempertahankan posisi sebagai wakil rakyat atau untuk meraih jabatan-jabatan publik lainnya. Kepengurusan partai politik di masa depan memang sebaiknya diarahkan untuk menjadi pengelola yang profesional yang terpisah dan dipisahkan dari para calon wakil rakyat. Mungkin ada baiknya untuk dipikirkan bahwa kepengurusan partai politik dibagi ke dalam 3 (tiga) komponen, yaitu (i) komponen kader wakil rakyat, (ii) komponen kader pejabat eksekutif, dan (iii) komponen pengelola profesional. Ketiganya diatur dalam struktur yang terpisah, dan tidak boleh ada rangkap jabatan dan pilihan jalur. Pola rekruitmen dan promosi diharuskan mengikuti jalur yang sudah ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut.
Jika seseorang berminat menjadi anggota DPRD, atau DPR, maka ia diberi kesempatan sejak awal untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Partai atau yang dapat disebut dengan nama lain, yang disediakan tersendiri strukturnya dalam kepengurusan Partai. Sedangkan kader yang berminat duduk di lembaga eksekutif tidak duduk di Dewan Perwakilan, melainkan duduk dalam Dewan Kabinet atau yang disebut dengan nama lain. Di luar kedua struktur itu, adalah struktur kepengurusan biasa yang dijabat oleh para profesional yang digaji oleh partai dan tidak dimaksudkan untuk direkruit menjadi wakil rakyat ataupun untuk dipromosikan menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan.
Ketiga kelompok pengurus tersebut hendaknya jangan dicampur aduk atau terlalu mudah berpindah-pindah posisi dan jalur. Kalaupun ada orang yang ingin pindah jalur karena alasan yang rasional, maka hal itu dapat saja dimungkinkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga tidak justru menjadi ‘stimulus’ bagi kaum ‘oportunis’ yang akan merusak rasionalitas kultur demokrasi dan ‘rule of law’ di dalam partai. Untuk mendorong agar mekanisme kepengurusan dan pengelolaan partai menjadi makin baik, pengaturannya perlu dituangkan dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainya. Hal itu tidak cukup hanya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan.
Mekanisme pertama dan kedua tersebut di atas, berkaitan dengan aspek internal organisasi partai politik. Di samping itu, diperlukan pula dukungan iklim eksternal yang tercermin dalam, yaitu: Ketiga, penyelenggaraan negara yang baik dengan makin meningkatnya kualitas pelayanan publik (public services), serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan penyelenggaraan negara. Dengan adanya pelayanan umum yang baik disertai keterbukaan dan akuntalitas pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya, iklim politik dengan sendirinya akan tumbuh sehat dan juga akan menjadi lahan subur bagi partai politik untuk berkembang secara sehat pula.
Keempat, berkembangnya pers bebas yang semakin profesional dan mendidik. Media pers adalah saluran komunikasi massa yang menjangkau sasaran yang sangat luas. Peranannya dalam demokrasi sangat menentukan. Karena itu, pers dianggap sebagai “the fourth estate of democracy”, atau untuk melengkapi istilah “trias politica” dari Montesquieu, disebut juga dengan istilah “quadru politica”.
Kelima, kuatnya jaminan kebebasan berpikir (freedom of thought), dan berekspresi (freedom of expression), serta kebebasan untuk berkumpul dan beorganisasi secara damai (freedom of peaceful assembly and association). Pada intinya kebebasan dalam peri kehidupan bersama umat manusia itu adalah bermula dari kebebasan berpikir (freedom of thought). Dari kebebasan berpikir itu lah selanjutnya berkembang prinsip-prinsip “freedom of belief”, “freedom of expression”, “freedom of assembly”, “freedom of association”, “feedom of the press”, dan sebagainya dan seterusnya. Oleh sebab itu, iklim atau kondisi yang sangat diperlukan bagi dinamika pertumbuhan dan perkembangan partai politik di suatu negara, adalah iklim kebebasan berpikir. Artinya, partai politik yang baik memerlukan lahan sosial untuk tumbuh, yaitu adanya kemerdekaan berpikir di antara sesama warga negara yang akan menyalurkan aspirasi politiknya melalui salah satu saluran yang utama, yaitu partai politik.
Dalam sistem ‘representative democracy’, biasa dimengerti bahwa partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan peranan partai politik dianggap sangat dominan

69. PERILAKU INDIVIDU DALAM ORGANISASI


A. Dasar-dasar perilaku individu

Dalam ilmu management, seorang manager harus mengetahui perilaku individu. Dimana setiap individu ini tentu saja memiliki karakteristik individu yang menentukan terhadap perilaku individu. Yang pada akhirnya menghasilkan sebuah motivasi individu.

Karakteristik individu dalam organisasi antara lain :
Karakteristik biografis
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Status kawin
4. masa kerja
Kemampuan
1. kemampuan fisik
2. kemampuan intelektual
Kepribadian
Proses belajar
Persepsi
Sikap
Kepuasan kerja


Perilaku Individu dalam organisasi antara lain :
Produktifitas kerja
Kepuasan kerja
Tingkat absensi
Tingkat turnover
Pertama, mari kita membahas tentang dasar-dasar Perilaku Individu yang mempunyai karakteristik individu.

1. Karakteristik biografis

Yaitu karakteristik pribadi seperti umur, jenis kelamin, dan status kawin yang objektif dan mudah diperoleh dari rekaman pribadi.

Umur (age)
Hubungan Umur - Turnover = umur meningkat maka tingkat turnover menurun. Alasannya karena alternatif pekerjaan (option) yang semakin sedikit, penghasilan lebih tinggi yang telah diperoleh, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik.
Hubungan Umur - Absensi = Umur meningkat, maka ketidakhadiran yang disengaja menurun, dan ketidakhadiran yang tidak disengaja meningkat pula. Mengingat umur yang bertambah berarti adanya keluarga yang harus dibina. ketidakhadiran yang disengaja jarang sekali dilakukan, karena melihat pada nilai gaji yang terpotong bila tidak masuk kerja. Dan ketidakhadiran yang tidak disengaja meningkat pula, contoh : bila ada salah satu anaknya yang sakit.
Hubungan Umur - Produktivitas = umur meningkat, maka produktifitas menurun. Alasan: menurunnya kecepatan, kecekatan, dan kekuatan. Juga meningkatnya kejenuhan atau kebosanan, dan kurangnya rangsangan intelektual. Namun ada juga study yang mengemukakan bahwa hubungan umur dengan produktifitas ternyata tidak ada hubungannya sama sekali. Dengan alasan : menurunnya ketrampilan jasmani tidak cukup ekstrem bagi menurunnya produktifitas. Dan meningkatnya umur biasanya diimbangi dengan meningkatnya pengalaman.
hubungan umur - kepuasan kerja =
ü bagi karyawan profesional : umur meningkat, kepuasan kerja juga meningkat
ü karyawan non-profesional : kepuasan merosot selama usia tengah baya dan kemudian naik lagi dalam tahun-tahun selanjutnya. Bila digambarkan dalam bentuk kurva, akan berbentuk kurva U ("U" curve).
Jenis kelamin (gender)
tidak ada beda yang signifikan / bermakna dalam produktifitas kerja antara pria dengan wanita.
tidak ada bukti yang menyatakan bahwa jenis kelamin karyawan memperngaruhi kepuasan kerja.
hubungan gender - turnover = beberapa studi menjumpai bahwa wanita mempunyai tingkat keluar yang lebih tinggi, dan studi lain menjumpai tidak ada perbedaan antara hubungan keduanya.
hubungan gender - absensi = wanita mempunyai tingkat absensi yang lebih tinggi (lebih sering mangkir). dengan alasan : wanita memikul tanggung jawab rumah tangga dan keluarga yang lebih besar, juga jangan lupa dengan masalah kewanitaan.
Status kawin (martial status)
tidak ada studi yang cukup untu menyimpulkan mengenai efek status perkawinan terhadap produktifitas.
karyawan yang menikah lebih sediki absensinya, pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaannya.



Masa kerja
Tidak ada alasan bahwa karyawan yang lebih lama bekerja (senior) akan lebih produktif dari pada yang junior.
Senioritas / masa kerja berkaitan secara negatif dengan kemangkiran dan dengan tingkat turnover.
1. masa kerja tinggi , tingkat absensi dan turnover rendah
2. masa kerja rendah, tingkat absensi dan turnover tinggi
Keduanya hal di atas berkaitan secara negatif
1. masa kerja tinggi, kepuasan kerja tinggi
2. masa kerja rendah, kepuasan kerja rendah
kedua hal di atas berkaitan secara positif

2. Kemampuan

Yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
kemampuan intelektual. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengerjakan kegiatan mental. misalnya : berpikir,menganalisis, memahami. yang mana dapat diukur dalam berbrntuk tes (tes IQ). Dan setiap orang punya kemampuan yang berbeda.
kemampuan fisik. merupakan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menuntut stamina, kecekatan dan kekuatan.
3. Kepribadian

Merupakan cara individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. kepribadian terbentuk dari faktor keturunan, juga lingkungan (budaya, norma keluarga dan pengaruh lainnya), dan juga situasi.

ciri dari kepribadian adalah :
merupakan karakteristik yang bertahan, yang membedakan perilaku seorang individu, seperti sifat malu, agresif, mengalah, malas, ambisius, setia.


4. Proses belajar (pembelajaran)

Adalah bagaimana kita dapat menjelaskan dan meramalkan perilaku, dan pahami bagaimana orang belajar.

Belajar adalah : setiap perubahan yang relatif permanen dari perilaku yang terjadi sebagai hasil pengalaman.
belajar melibatkan perubahan (baik ataupun buruk)
perubahan harus relatif permanen
belajar berlangsung jika ada perubahan tindakan / perilaku
beberapa bentuk pengalaman diperlukan untuk belajar. pengalaman dapat diperoleh lewat pengamatan langsung atau tidak langsung (membaca) atau lewat praktek.
5. Persepsi

Merupakan suatu proses dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungannya.

distorsi persepsi (penyimpangan persepsi) :
persepsi selektif, orang-orang yang secara selektif menafsirkan apa yang mereka saksikan berdasarkan kepentingan, latar belakang, pengalaman, dan sikap.
efek halo, menarik suatu kesan umum mengenai individu berdasarkan suatu karakteristik tunggal (kesan pertama)
efek kontras, evaluasi dari karakteristik seseorang yang dipengaruhi oleh perbandingan dengan orang lain yang baru dijumpai, yang berperingkat lebih tinggi atau lebih rendah pada karakteristik yang sama.
proyeksi, menghubungkan karakteristik pribadinya terhadap karakteristik pribadi orang lain.
stereotype, menilai seseorang atas dasar persepsi kita terhadap kelompok dari orang tersebut (menggeneralisasikan)
6. Sikap 

Adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif (menguntungkan atau tidak menguntungkan) mengenai objek, orang dan peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan mengenai sesuatu. Dalam perilaku organisasi, pemahaman atas sikap penting, karena sikap mempengaruhi perilaku kerja.

komponen sikap :
kognitif, segmen pendapat atau keyakinan dari suatu sikap
afektif, segmen emosional dari suatu sikap
perilaku,suatu maksud untuk perilaku dalam suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.
7. Kepuasan kerja

Adalah suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. atau persaan senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja mempengaruhi sikap.

Apa yang menetukan kepuasan kerja ?
kerja yang secara mental menantang. kesempatan menggunakan ketrampilan / kemampuan, tugas yang beragam, kebebasan, dan umpan balik.
ganjaran yang pantas. sistem upah dan kebijakan promosi yang adil.
kondisi kerja yang mendukung. lingkungan kerja yang aman, nyaman, fasilitas yang memadai.
rekan kerja yang mendukung. rekan kerja yang ramah dan mendukung, atasan yang ramah, memahami, menghargai dan menunjukan keberpihakan kepada bawahan.
kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan. bakat dan kemampuan karyawan sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
B. Perilaku Organisasi
Pada tingkat individu, jika pegawai merasa bahwa organisasi memenuhi kebutuhan dan karakteristik individualnya, ia akan cenderung berperilaku positif. Tetapi sebaliknya, jika pegawai tidak merasa diperlakukan dengan adil, maka mereka cenderung untuk tidak tertarik melakukan hal yang terbaik (Cowling dan James, 1996) Untuk itu, ketika seseorang mempunyai ketertarikan yang tinggi dengan pekerjaan, seseorang akan menunjukkan perilaku terbaiknya dalam bekerja (Duran-Arenas et.al, 1998). Selanjutnya menurut Cowling dan James, tidak semua individu tertarik dengan pekerjaannya. Akibatnya beberapa target pekerjaan tidak tercapai, tujuan-tujuan organisasi tertunda dan kepuasan dan produktivitas pegawai menurun.
Di lain pihak, organisasi berharap dapat memenuhi standar-standar sekarang yang sudah ditetapkan serta dapat meningkat sepanjang waktu. Masalahnya adalah cara menyelaraskan sasaran-sasaran individu dan kelompok dengan sasaran organisasi; dan jika memungkinkan, sasaran organisasi menjadi sasaran individu dan kelompok. Untuk itu diperlukan pemahaman bagaimana orang-orang dalam organisasi itu bekerja serta kondisi-kondisi yang memungkinkan mereka dapat memberikan kontribusinya yang tinggi terhadap organisasi. 
Belajar dari Vroom
Menurut Teori Pengharapan, perilaku kerja merupakan fungsi dari tiga karakteristik: (1) persepsi pegawai bahwa upayanya mengarah pada suatu kinerja (2) persepsi pegawai bahwa kinerjanya dihargai (misalnya dengan gaji atau pujian) (3) nilai yang diberikan pegawai terhadap imbalan yang diberikan. Menurut Vroom’s expectancy theory, perilaku yang diharapkan dalam pekerjaan akan meningkat jika seseorang merasakan adanya hubungan yang positif antara usaha-usaha yang dilakukannya dengan kinerja (Simamora, 1999). Perilaku-perilaku tersebut selanjutnya meningkat jika ada hubungan positif antara kinerja yang baik dengan imbalan yang mereka terima, terutama imbalan yang bernilai bagi dirinya. Guna mempertahankan individu senantiasa dalam rangkaian perilaku dan kinerja, organisasi harus melakukan evaluasi yang akurat, memberi imbalan dan umpan balik yang tepat.
C. PERILAKU INDIVIDUAL DALAM ORGANISASI

perilaku manusia sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Perilaku itu sendiri adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Ditilik dari sifatnya, perbedaan perilaku manusia itu disebabkan karena kemampuan, kebutuhan, cara berpikir untuk menentukan pilihan perilaku, pengalaman, dan reaksi affektifnya berbeda satu sama lain.

Pendekatan yang sering dipergunakan untuk memahami perilaku manusia adalah; pendekatan kognitif, reinforcement, dan psikoanalitis. Berikut penjelasan ketiga pendekatan tersebut dilihat dari; penekanannya, penyebab timbulnya perilaku, prosesnya, kepentingan masa lalu di dalam menentukan perilaku, tingkat kesadaran, dan data yang dipergunakan.

1. Penekanan. 
Pendekatan kognitif menekankan mental internal seperti berpikir dan menimbang. Penafsiran individu tentang lingkungan dipertimbangkan lebih penting dari lingkungan itu sendiri.
Pendekatan penguatan (reinforcement) menekankan pada peranan lingkungan dalam perilaku manusia. Lingkungan dipandang sebagai suatu sumber stimuli yang dapat menghasilkan dan memperkuat respon perilaku.
Pendekatan psikoanalitis menekankan peranan sistem personalitas di dalam menentukan sesuatu perilaku. Lingkungan dipertimbangkan sepanjang hanya sebagai ego yang berinteraksi dengannya untuk memuaskan keinginan.

2. Penyebab Timbulnya Perilaku
Pendekatan kognitif, perilaku dikatakan timbul dari ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian pada struktur kognitif, yang dapat dihasilkan dari persepsi tentang lingkungan.
Pendekatan reinforcement menyatakan bahwa perilaku itu ditentukan oleh stimuli lingkungan baik sebelum terjadinya perilaku maupun sebagai hasil dari perilaku.
Menurut pendekatan psikoanalitis, perilaku itu ditimbulkan oleh tegangan (tensions) yang dihasilkan oleh tidak tercapainya keinginan.
3. Proses.
Pendekatan kognitif menyatakan bahwa kognisi (pengetahuan dan pengalaman) adalah proses mental, yang saling menyempurnakan dengan struktur kognisi yang ada. Dan akibat ketidak sesuaian (inconsistency) dalam struktur menghasilkan perilaku yang dapat mengurangi ketidak sesuaian tersebut.
Pendekatan reinforcement, lingkungan yang beraksi dalam diri individu mengundang respon yang ditentukan oleh sejarah. Sifat dari reaksi lingkungan pada respon tersebut menentukan kecenderungan perilaku masa mendatang.
Dalam pendekatan psikoanalitis, keinginan dan harapan dihasilkan dalam Id kemudian diproses oleh Ego dibawah pengamatan Superego.
4. Kepentingan Masa lalu dalam menentukan Perilaku.
Pendekatan kognitif tidak memperhitungkan masa lalu (ahistoric). Pengalaman masa lalu hanya menentukan pada struktur kognitif, dan perilaku adalah suatu fungsi dari pernyataan masa sekarang dari sistem kognitif seseorang, tanpa memperhatikan proses masuknya dalam sistem.
Teori reinforcement bersifat historic. Suatu respon seseorang pada suatu stimulus tertentu adalah menjadi suatu fungsi dari sejarah lingkungannya.
Menurut pendekatan psikoanalitis, masa lalu seseorang dapat menjadikan suatu penentu yang relatif penting bagi perilakunya. Kekuatan yang relatif dari Id, Ego dan Superego ditentukan oleh interaksi dan pengembangannya dimasa lalu.
5. Tingkat dari Kesadaran.
Dalam pendekatan kognitif memang ada aneka ragam tingkatan kesadaran, tetapi dalam kegiatan mental yang sadar seperti mengetahui, berpikir dan memahami, dipertimbangkan sangat penting.
Dalam teori reinforcement, tidak ada perbedaan antara sadar dan tidak. Biasanya aktifitas mental dipertimbangkan menjadi bentuk lain dari perilaku dan tidak dihubungkan dengan kasus kekuasaan apapun. Aktifitas mental seperti berpikir dan berperasaan dapat saja diikuti dengan perilaku yang terbuka, tetapi bukan berarti bahwa berpikir dan berperasaan dapat menyebabkan terjadinya perilaku terbuka.
Pendekatan psikoanalitis hampir sebagian besar aktifitas mental adalah tidak sadar. Aktifitas tidak sadar dari Id dan Superego secara luas menentukan perilaku.
6. Data.
Dalam pendekatan kognitif, data atas sikap, nilai, pengertian dan pengharapan pada dasarnya dikumpulkan lewat survey dan kuestioner.
Pendekatan reinforcement mengukur stimuli lingkungan dan respon materi atau fisik yang dapat diamati, lewat observasi langsung atau dengan pertolongan sarana teknologi.
Pendekatan psikoanalitis menggunakan data ekspresi dari keinginan, harapan, dan bukti penekanan dan bloking dari keinginan tersebut lewat analisa mimpi, asosiasi bebas, teknik proyektif, dan hipnotis.

68. Perilaku Organisasi Pada Era Globalisasi

Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan  atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk  mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-sub sistem  yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values  subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem). Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi.
Banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik yang menyebabkan organisasi mempunyai perilaku yang tidak sesuai dengan sasaran dan tujuan dari organisasi tersebut,. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang menyelidiki dampak dari pengaruh individu,kelompok, dan stuktur dalam organisasi terhadap perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya yang bertujuan untuk mengaplikasikan pengtahuan tersebut dalam meningkatkn efektivitas organisasi (Robbins, 1993). Perilaku organisasi ini sangat mempengaruhi penampilan organisasi. Karena perilaku organisasi ini biasanya berhubungan dengan perusahaan, tidak mengherankan bila perilaku yang dipelajari dalam perilaku organisasi ini adalah yang berhubungan dengan pekerjaan, tugas-tugas tertentu, mangkir kerja, perpindahan kerja, dan manajemen.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik, sehingga organisasi menjadi menyimpang. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.
Perlu diingat bahwa konsep-konsep tentang perilaku organisasi harus mereflesikan kemungkinan-kemungkinan dalam situasi tertentu. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, dalam situasi-situasi tertentu model partisipatif dianggap lebih superior, tetapi dalam situasi-situasi yang lain model autokratik dianggap lebih efektif. Dalam soal kepemimpinan, efektivitas tipe kepemimpinan tertentu bisa berubah-ubah (contigent) tergantung dari situasi pada saat tipe tersebut digunakan.
Perilaku organisasi memang dapat meramalkan perilaku seseorang di dalam organisasi pada waktu dan situasi tertentu sehingga memungkinkan penyelesaian masalah yang paling cocok berdasarkan ramalan tersebut. Akan tetapi, pada waktu dan situasi yang lain ramalan tersebut bisa tidak berlaku lagi dan usulan penyelesaian pun harus berbeda. Pokoknya, hanya sedikit sekali yang bersifat absolute dalam perilaku organisasi.
Dalam praktiknya, system social di dalam organisasi terdiri dari dua jenis, yaitu system social yang formal (official) dan system social yang informal (unofficial). Adanya system social ini menunjukkn bahwa lingkungan organisasi itu selalu berubah secra dinamis, bukannya sesuatu yang statis. Oleh karena itu, senua bagian dalam system social itu saling terkait dan akan sangat penting atinya dalam melakukan analisis tentang isu-isu perilaku oraganisasi.hal ini akan membantu pengertian kita dan kemampuan manajemen kita dalam masalah-masalah perilaku organisasi.tu pengertian kita dan kemampuan manajemen kita dalam masalah-masalah perilaku organisasi.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Tantangan apakah yang di hadapi perilaku organisasi pada era globalisasi?
2.    Bagaimanakah cara manajer suatu organisasi atau perusahaan dalam menyelesaikan konflik antar kelompok yang terjadi di dalam perusahaan ataupun organisasi tersebut.

A. Tantangan Peilaku Organisasi Pada Era Globalisasi
Ada dua isu pokok yang menjadi focus perubahan pada tahun 90-an, yaitu inovasi dan penguatan motivasi intrinsic (empowermwnt) pada karyawan perusahaan. Dalam kompetisi global yang mendunia secara dinamis, organisasi yang inovatif itu lebih adaptif dan lebih besar kemungkinannya untuk maju. Demikian juga, jika perusahaan menginginkan lebih efisien dan responsive, manajemen dapat memotng biaya, meningkatkan motivasi karyawan, dan meningkatkan produktivitas dengan jalan memperkuat barisan tenaga kerjanya.
Pemahaman mengenai pentingnya perilaku organisasi oleh para manajer diperlukan sekali pada saat ini mengingat begitu cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi. Umpamanya, meratanya jumlah karyawan yang lebih tua karena panjangnya harapan hidup, makin bertambahnya karyawati di tempat kerja, restrukturisasi perusahaan dan penghematan yang sering merenggangkan ikatan kesetiaan karyawan kepaa pimpinan, dan kompetisi global yang memerlikan karyawan yang fleksibel, inovatif, dan bisa mengatasi perubahan yang terjadi secara cepat. Dengan kata lain, akan terjadi banyak tantangan dan kesempatan dalam perilaku organisasi pada masa depan. Isu kritis untuk para manajer, yang memerlukan perilaku organisasi dalam membantu penyelesaiannya, setidak-tidaknya ada kesadaran atau intropeksi menuju penyelesaian.
Adapun tantangan yang dihadapi oleh perilaku organisasi pada era globalisasi ini yaitu:
1.    Keanekaragaman Tenaga Kerja
Organisasi dan perusahaan-perusahaan yang ada saat ini menjadi lebih heterogen dalam masalah jenis kelamin, kesukuan, dan kebangsaan.keragaman juga mencakup masalah ketidaknormalan seperti cacat fisik, homoseksualitas, ketuaan, dan kelebihan berat badan. Keanekaragaman tenaga kerja ini memiliki implikasi yang penting dalam praktik manajemen. Para manajer perlu mengubah filosofinya, dari memperlakukan semua karyawan secara sama menjadi mengenal perbedaan-perbedaan yang memerlukan respons yang berbeda pula dengan cara-cara yang bisa mempertahankan atau meningkatkan produktivitas kerja, tanpa terkesan melakukan diskriminasi. Kalau dimanajemeni secara positif, keanekaragaman tenaga kerja dapat meningkatkan kreativitas dan inovasi di dalam perusahaan atau organisasi. Akan tetapi, kalau keanekaragaman ini tidak dimanajemeni secara tepat, bisa menyebabkan meningkatnya angka pindah kerja, konflik antarkaryawan, dan kesulitan dalam komunikasi.

2.    Penurunan Kesetiaan
Karyawan perusahaan dahulu memiliki kepercayaan bahwa perusahaan akan memberikan penghargaan untuk kesetiaan dan pekerjaan baik mereka, dengan keamanan kerja, kenaikan gaji/upah dan berbagai keuntungan lainnya. Tetapi, di negara-negara maju khususnya, sejak pertengahan tahun 80-an, sebagai respons terhadap kompetisi global, pengambilalihan perusahaan, pembajakn tenaga ahli, dan semacamnya, perusahaan mulai membuang kebijakan lama tentang keamanan kerja, senioritas, dan kompensasi. Mereka menerapkan kebijakan optimasi dan efisiensi dengan cara menutup beberapa pabrik, memindahkan perusahaan ke luar negeri, menjual atau menutup perusahaan-perusahaan yang kurang menguntungkan dan merumahkan seluruh lapisan manajemen.
Perubahan-perubahan ini mengakibatkan menurunnya kesetiaan karyawan. Dalam penelitian terakhir pada karyawan di Amerika Serikat, 57% di antara mereka mengatakan bahwa perusahaan sendiri kurang setia kepada karyawannya sekarang ini dibandingkan sepuluh tahun yang lalu (Traub, 1990). Tentu saja, komitmen karyawan terhadap perusahaan menjadi berkurang karena perusahaan sendiri menunjukkan penurunan komitmen kepada karyawannya. Tantangan yang penting dalam perilaku organisasi yang akan dihadapi oleh para manajer adalah menciptakan cara-cara terbaik untuk memotivasi karyawan yang kurang komitmennya terhadap perusahaan, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kemampuan organisasi dalam kompetisi global.
3.    Kekurangan Tenaga Kerja
     Diramalkan, kalau tidak terjadi penurunan ekonomi yang mendadak (krisis ekonomi), pasaran tenaga kerja dalam 15-20 tahun mendatang akan menjadi bidang usaha yang empuk bagi para penyalur tenaga kerja, terutama tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan professional. Perusahaan-perusahaan harus memikirkan kembali kebijakan tentang rekruitmen, pelatihan, kompensasi, dan berbagai keuntungan karyawan lainnya. Jika nantinya lebih banyak pekerjaan yang ditawarkan daripada tenaga-tenaga terlatih untuk mengisinya, perusahaan harus memiliki kebijakan yang progresif tentang sumber daya manusia dan manajemennya juga harus memiliki keterampilan dalam aspek kemanusiaan karyawan, agar dapat diperoleh dan dipertahankan karyawan-karyawan yang terbaik kualitasnya.  
4.    Kekurangan Keterampilan
     Sejalan dengan kekurangan tenaga kerja,kenyataan lain menunjukkan bahwa sejumlah besar pencari kerja ternyata tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Hal serupa ini dialami juga oleh sebagian besar pencari kerja di Indonesia. Di satu pihak, angka pengangguran meningkat tajam. Di pihak lain, banyak lowongan kerja  professional yang tidak dapat diisi oleh tenaga-tenaga bangsa sendiri, tetapi diisi oleh bangsa asing. Para manajer dituntut untuk lebih bertanggungjawab memenuhi kebutuhan karyawan-karyawan terampil dan mempertahankan mereka agar tidak pindah kerja pada perusahaan asing.
5.    Stimulasi Inovasi dan Perubahan
     Sekarang ini perusahaan-perusahaan yang ingin sukses harus memelihara dan meningkatkan inovasi serta menguasai seni perubahan. Bila tidak melakukan langkah-langkah tersebut, mereka akan menghadapi kebangkrutan. Keberhasilan akan diperoleh oleh perusahaan-perusahaan yang memepertahankan fleksibilitas, meningkatkan kualitas secara terus-menerus, dan mengalahkan saingan di pasaran dengan produk dan jasa yang inovatif secara konstan. Para karyawan perusahaan itu sendiri bisa menjadi pencetus inovasi dan perubahan atau malah menjadi penghalang untuk hal-hal serupa itu. Dalam hal ini, menstimulasi kreativitas dan toleransi para karyawan untuk suatu peubahan menjadi tantangan bagi para manajer. Bidang perilaku organisasi di sini adalah memberikan berbagai kekayaan ide dan teknik untuk membantu merealisasikan tujuan ini.

B.  Mengelola Konflik Antar Kelompok
Konflik akan terjadi sejalan dengan meningkatnya konpleksitas organisasi, oleh karenanya maka manajer atau pimpinan organisasi harus mampu untuk mengendalikan konflik yang disfungsional yang terjadi dalam organisasi. Karena konflik seperti itu dapat menurunkan prestasi organisasi dan berpengaruh juga tentunya terhadap perilaku organisasi. Kemempuan untuk mengendalikan konflik yang terjadi dalam organisasi membutuhkan keterampilan manajemen tertentu. Ada empat strategi yang dapat dipergunakan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam oganisasi, yaitu strategi penghindaran, strategi intervensi kekuasaan, strategi penggembosan, dan strategi resolusi.
1.    Strategi Penghindaran
Strategi penghindaran pada umumnya tidak mempertimbangkan sumber-sumber konflik tetapi membiarkan konflik tetap ada dalam kondisi yang terkendali. Dua strategi penghindaran yang dapat dilakukan adalah mengabaikan konflik yang terjadi dan melakukan pemisahan secara fisik.
a.    Mengabaikan konflik
Jika konflik yang terjadi tidak begitu berat dan tidak berbahaya, manajer/pimpinan biasanya mengabaikannya dan seakan-akan konflik tersebut tidak ada. Pimpinan organisasi tidak mengidentifikasi sebab timbulnya konflik maupun menyelesaikannya dan strategi ini efektif jika situasi konflik tidak memburuk.
b.    Pemisahan secara fisik
     Jika dua kelompok yang bermusuhan secara fisik dipisahkan maka permusuhan dan agresi secara terbuka dapat dikurangi. Strategi pemisahan secara fisik efektif hanya jika kedua kelompok tidak memerlukan adanya interaksi dan pemisahan mengurangi gejala dari konflik. Akan tetapi jika dua kelompok tersebut memerlukan interaksi dalam melaksanakan tugasnya, maka strategi pemisahan hanya akan menyebabkan prestasi yang buruk.
2.    Strategi intervensi kekuasaan
Ketika kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik tidak mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka, beberapa bentuk dari penggunaan kekuasaan dapat dipergunakan. Sumber kekuasaan dapat berasal dari hirarkhi yang lebih tinggi di dalam organisasi dalam bentuk perintah otoritatif, dan dengan manuver-manuver politik.
a.    Menggunakan perintah otoritatif dan penerapan peraturan
Jika konflik yang terjadi terlalu besar untuk diabaikan, maka manajer atau pimpinan yang lebih tinggi dapat mengendalikan atau menyelesaikan konflik dengan menggunakan perintah otoritatif. Dalam keputusan secara sepihak agar konflik tidak terjadi kembali maka perintah otoritatif perlu disertai dengan ancaman seperti pemecatan atau pemindahan ke kelompok yang lainnya. Pimpinan diatasnya juga dapat menerapkan peraturan dan prosedur yang membatasi konflik pada tingkat yang dapat diterima.
b.    Manuver Politik
Dua kelompok yang mengalami konflik dapat memutuskan untuk mengakhiri konflik dengan melakukan maneuver-manuver politik dimana masing-masing kelompok mencoba untuk menghimpun kekuatan untuk memaksa kelompok yang lainnya. Proses demokratis yang biasanya dipergunakan adalah membawa is tersebut ke dalam pemungutan suara.semua kelompok berupaya untuk mempengaruhi hasil dari pemungutan suara tersebut dengan meminta dukungan dari pihak luar. Pemecahan konflik dengan cara ini akan meningkatkan situasi menag-kalah, sementara sumber dari konflik tidak dieliminir. Pihak yang kalah akan merasa denda dan terus menentang piahak yang menang.
3.    Strategi penggembosan
Strategi penggembosan mencoba untuk mengurangi tingkat emosional dan kemarahan dari konflik pihak-pihak yang sedang mengalami konflik. Focus dari strategi penggembosan umumnya hanya pada permukaannya saja dan tidak sampai menyentuh pada akar dari permasalahannya.tiga strategi penggembosan yang dapat dilakukan adalah pelunakan, kompromi, dan mengidentifikasi musuh bersama.
      Proses pelunakan dilakukan dengan cara menonjolkan kesamaan-kesamaan dan kepentingan bersama di antara kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik, dan sebaliknya memperkecil perbedaan-perbedaan di antara mereka. Dengan menekankan pada kesamaan dan kepentingan bersama membantu kelompok yang sedang mengalami konflik untuk melihat tujuannya tidak jauh berbeda dan ada sesuatu yang didapat dengan bekerjasama. Sekalipun pelunakan mampu untuk menyadarkan kelompok tentang tujuan bersama mereka, hal ini hanyalah penyelesaian yang bersifat sementara karena cara ini tidak menyelesaikan sumber yang melandasi konflik.


67. Dinamika Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Budaya mempunyai suatu peran menempatkan tapal batas; artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan jangkauannya.
2.   Budaya membawa satu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3.  Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada kepentingan-kepentingan dari individual seseorang.
4.  Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem social. Budaya merupakan perekat social yang membantu mempersatuakan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para anggota.
5.  Akhirnya budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku anggaotanya.

kadang suatu budaya yang telah mengakar kuat menimbulkan efek yang negative antara lain :
1.      Penghalang terhadap suatu perubahan
Budaya terasa sebagai suatu beban, bilamana nilai-nilai yang ada tidak lagi cocok dengan nilai-nilai yang akan meningkatkan keefektifan suatu organisasi itu. Ini paling mungkin terjadi bila lingkungan organisasi kita dinamis, bila bangunan itu mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dari organisasi itu mungkin tidak lagi tepat.
2.      Penghalang terhadap keanekaragaman
Budaya yang kuat menyebabkan tekanan yang cukup besar pada para anggota untuk menyesuaikan diri (conform). Mereka membatasi rentang nilai dan tatanan yang dapat diterima. Padahal organisasi-organisasi memperlihatkan individu yang beraneka ragam, karena kekuatan alternative yang dibawa mereka ke tempat kerja. Oleh karena itu, budaya yang kuat dapat merupakan beban (liabilitas) bila budaya itu dengan efektif menyingkirkan berbagai kekuatan unik tersebut.
3.      Penghalang terhadap afiliasi
Budaya yang kuat akan menjadi karakteristik suatu organisasi. Bila tidak terdapat kecocokan (kompatibilitas) antar organisasi suatu dengan yang lainnya, maka biasanya sualit untuk mengadakan kerja sama.

  • Membentuk dan Mempertahankan Budaya
Budaya suatu organisasi tidak muncul begitu saja dari suatu kehampaan. Budaya terbentuk melalui tahap-tahap sosialisasi secara sistematis sebagai berikut :
1.      Tahap kedatangan
Kurun waktu pembelajaran dalam proses sosialisasi yang terjadi sebelum seorang anggota (civitas) baru bergabung dengan organisasi itu. Mereka datang dengan serangkaian nilai, sikap dan perilaku yang telah dimiliki sebelumnya. Disinalah muncul heteroginitas budaya.
2.      Tahap orientasi
Tahap dalam proses sosialisasi dimana seorang anggota (civitas) baru menaksirkan seperti apa sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan dapat berbeda. Pada tahap ini, sering teradi konflik antara persepsi semula dengan realitas yang mereka temukan pada organisasi yang baru mereka masuki. Mereka dituntut untuk menyelesaikan berbagai problem tersebut selama masa orientasi berlangsung.
3.      Tahap metamorfosis
Tahap dalam proses sosialisasi  di mana seorang anggota (civitas) baru menyesuaikan diri pada norma dan nilai kelompok kerjanya. Mereka sudah bisa menghayati dan menerima norma-norma organisasi dan kelompok kerja mereka. Disinilah suatu organisasi akan menerima hasil dari proses sosialisasi yang berupa produktivitas, komitmen dan perputaran.