Jumat, 11 Januari 2013

40. PERENCANAAN KEBJIKAN PUBLIK


Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi tentang kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan adalah partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam Abbot, 1995) berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah contoh nyata dari penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan yang melipatkan hubungan antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara. 
Teori mengenai kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk menuju sebuah penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai kekuasaan. Salah satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan yang dikemukakan oleh Luke dan dikembangkan oleh John Gaventa. Teori tersebut merupakan sebuah evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya. 
Teori yang pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh Robert Dahl. Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan meningkatkan kepada peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan kebijakan dan perilaku yang bisa diamati. Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang mendominasi. 
Pendekatan pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi dalam proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin menyampaikan pendapatnya mengenai isu tersebut. Apatisme atau non-partisipasi merupakan sebuah gambaran dari kurangnya minat terhadap sebuah isu yang berkembang. Menyadari kondisi masyarakat yang beragam, maka konflik merupakan sebuah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah hasil yang diharapkan atau sebagai sebuah media untuk menentukan siapa yang menang. 
Pendekatan ini mendapatkan kritikan yang menyatakan bahwa ketika pendekatan satu dimensi ini melihat kekuasaan sebagai sebuah fungsi yang tersembunyi dari pembuatan kebijakan yang mengamati konflik terbuka melalui partisipasi terbuka, maka pendekatan itu telah mengabaikan mekanisme politik yang penting. Seringkali terjadi, dimana kekuasaan menggunakan potensinya untuk mencegah satu isu untuk diangkat dan menekan partisipasi di dalam arena politik. Isu potensial dan keluhan tidak pernah terungkapkan karena telah dimatikan oleh kekuasaan. Pendekatan yang membatasi pada sebuah fenomena yang nampak, dapat melewatkan fenomena manipulasi dan paksaan yang menyebabkan sebuah isyu atau suatu kelompok tidak masuk dalam arena politik. 
Kritikan terhadap pendekatan satu dimensi melahirkan pendekatan kedua yang dikemukakan oleh Bachrach dan Baratz yang melihat kekuasaan melalui pendekatan dua dimensi yang sering disebut sebagai elite model. Dimensi pertama melihat arena sebagai sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata, akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan dan dipertahankan oleh kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk mencegah tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk mempertahankan dominasinya. Pendekatan dua dimensi ini membahas lebih dalam mengenai fenomena non-partisipasi, keluhan dan apatisme. 
Analisis yang lebih dalam dari dimensi kedua ini tetap melahirkan kritikan. Salah satu kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada sebuah konflik yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik, maka sudah terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak terjadi sebuah konflik. Luke (dalam Hardiansyah, 2005) menerangkan bahwasanya manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu melibatkan konflik terbuka. Sehingga konflik laten dapat terjadi dimana ketika seseorang menerima sesuatu yang berlawanan dengan kepentingannya tanpa mengetahuinya sama sekali. 
Pendekatan tiga dimensi merupakan perluasan daari pendekatan satu dimensi dan dua dimensi dan sering disebut calss dialetical model. Pendekatan ini lahir dari sebuah kritikan terhadap pendekatan yang fokus dan prilaku yang memasukkan pertimbangan kekuatan yang tersembunyi dan konflik yang mendapat pengaruh kekuasaan (Gaventa, 1985) adalah untuk mengidentifikasi alat dan media yang digunakan oleh pengaruh kekuasaan untuk membentuk atau menentukan konsepsi dari kebutuhan, kemungkinan dan strategi untuk menghadapi konflik yang terjadi. 
Proses yang terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini adalah sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan bergerak dari sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi melawan kelompok dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985) sebagai kondisi ”power serves to create power, powerlessness serves to re-enforce powerless-ness” 
Kerangka Kekuasaan Tiga Dimensi 

Dimensi pertama, yaitu kekuasaan, melibatkan sebuah titik tekan dari perilaku dalam pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah kepentingan subjektif. Dimensi ini mencoba menjelaskan bagaimana sebuah kelompok atau individu berusaha untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan yang dimilikinya. Domensi kedua adalah kepentingan, merupakan perluasan dari dimensi pertama, sehingga proses-proses yang terjadi dalam spektrum dimensi pertama termasuk pula dalam dimensi kedua. 
Dimensi kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari sebuah kepentuingan subjektif semata. Tindakan-tindakan politis yang diambil dan termasuk spektrum dimensi ini menekankan kepada sebuah proses perluasan kekuasaan serta mulai melibatkan kepentingan sebagai sebuah pencapaian yang harus daraih. Pada titik ini tindakan-tindakan yang dilakukan dimaksudkan untuk memperbesar kekuasaan dan kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh kelompok atau individu. Pada dimensi ini pula kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan perluasan kekuasaan dan
kepentingan objektif mulai disingkirkan. 
Dimensi yang ketiga adalah hegemoni, yang merupakan perluasan dari kedua dimensi sebelumnya. Dimensi kedua dan ketiga pada dasarnya dibangun untuk memperoleh sebuah gambaran mengenai hubungan sebab akibat dari dimensi yang pertama. Dimensi ketiga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka, tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok atau individu. 
John Gaventa (1980) mencoba menjelaskan hubungan para pelaku pilitik dalam konteks kerangka kekuasaan tiga dimensi Luke. Model ini menganalogikan dua belah pihak antara A dan B. Kelompok A merupakan kelompok dominan sedangkan kelompok B kelompok yang terdominasi. Hal ini diungkapkan oleh Gaventa pada penelitiannya yang menggunakan pendekatan tiga dimensi ini pada kasus Suku Indian Applachian yang terdominasi oleh kelompok pengusaha yang mengambil alih lahan yang dimiliki. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar