Kekuasaan
tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi tentang
kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan.
Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan adalah
partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam Abbot, 1995)
berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah contoh nyata dari
penggunaan kekuasaan. Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari
proses pembuatan keputusan yang melipatkan hubungan antar individu dan kelompok
kepentingan dengan negara.
Teori
mengenai kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk menuju
sebuah penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai kekuasaan. Salah
satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan yang dikemukakan
oleh Luke dan dikembangkan oleh John Gaventa. Teori tersebut merupakan sebuah
evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya.
Teori yang
pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh Robert Dahl.
Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan meningkatkan kepada
peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan kebijakan dan perilaku yang bisa
diamati. Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah
satu kelompok didominasi oleh kelompok yang lain, sehingga kelompok yang
didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang
mendominasi.
Pendekatan
pluralis melihat arena politik sebagai sebuah sistem terbuka dengan kesempatan
yang sama dengan semua orang untuk dapat terlibat, bukan hanya berputar
disebuah elite saja. Setiap orang akan ikut terlibat dan berpartisipasi dalam
proses kebijakan, apabila merasa terkait dengan satu isu dan ingin menyampaikan
pendapatnya mengenai isu tersebut. Apatisme atau non-partisipasi merupakan
sebuah gambaran dari kurangnya minat terhadap sebuah isu yang berkembang.
Menyadari kondisi masyarakat yang beragam, maka konflik merupakan sebuah hal
yang wajar terjadi sebagai sebuah hasil yang diharapkan atau sebagai sebuah
media untuk menentukan siapa yang menang.
Pendekatan
ini mendapatkan kritikan yang menyatakan bahwa ketika pendekatan satu dimensi
ini melihat kekuasaan sebagai sebuah fungsi yang tersembunyi dari pembuatan
kebijakan yang mengamati konflik terbuka melalui partisipasi terbuka, maka
pendekatan itu telah mengabaikan mekanisme politik yang penting. Seringkali
terjadi, dimana kekuasaan menggunakan potensinya untuk mencegah satu isu untuk
diangkat dan menekan partisipasi di dalam arena politik. Isu potensial dan
keluhan tidak pernah terungkapkan karena telah dimatikan oleh kekuasaan.
Pendekatan yang membatasi pada sebuah fenomena yang nampak, dapat melewatkan
fenomena manipulasi dan paksaan yang menyebabkan sebuah isyu atau suatu
kelompok tidak masuk dalam arena politik.
Kritikan
terhadap pendekatan satu dimensi melahirkan pendekatan kedua yang dikemukakan
oleh Bachrach dan Baratz yang melihat kekuasaan melalui pendekatan dua dimensi
yang sering disebut sebagai elite model. Dimensi pertama melihat arena sebagai
sebuah sistem terbuka dan walaupun distribusi kekuasaan tidak tersebar merata,
akan tetapi tidak berpusat pada satu kelompok saja. Dimensi yang kedua adalah
sistem ketidakmerataan yang monopolistik diciptakan dan dipertahankan oleh
kelas dominator. Elite mempunyai kekuatan dan sumber daya untuk mencegah
tindakan politik yang tidak menguntungkan mereka. Elite menentukan agenda untuk
mempertahankan dominasinya. Pendekatan dua dimensi ini membahas lebih dalam
mengenai fenomena non-partisipasi, keluhan dan apatisme.
Analisis
yang lebih dalam dari dimensi kedua ini tetap melahirkan kritikan. Salah satu
kritikan yang dikemukakan adalah pada dasarnya pendekatan ini tidak berbeda
dengan pendekatan sebelumnya, yakni memfokuskan analisis pada sebuah konflik
yang terlihat. Pendekatan ini melihat ketika tidak terjadi konflik, maka sudah
terjadi sebuah konsensus atau alokasi sumber daya yang menyebabkan tidak
terjadi sebuah konflik. Luke (dalam Hardiansyah, 2005) menerangkan bahwasanya
manipulasi dan kewenangan merupakan sebuah bentuk kekuasaan yang tidak perlu
melibatkan konflik terbuka. Sehingga konflik laten dapat terjadi dimana ketika
seseorang menerima sesuatu yang berlawanan dengan kepentingannya tanpa mengetahuinya
sama sekali.
Pendekatan
tiga dimensi merupakan perluasan daari pendekatan satu dimensi dan dua dimensi
dan sering disebut calss dialetical model. Pendekatan ini lahir dari sebuah
kritikan terhadap pendekatan yang fokus dan prilaku yang memasukkan pertimbangan
kekuatan yang tersembunyi dan konflik yang mendapat pengaruh kekuasaan
(Gaventa, 1985) adalah untuk mengidentifikasi alat dan media yang digunakan
oleh pengaruh kekuasaan untuk membentuk atau menentukan konsepsi dari
kebutuhan, kemungkinan dan strategi untuk menghadapi konflik yang terjadi.
Proses yang
terjadi dalam proses politik dalam persepektif dalam tiga dimensi ini adalah
sebuah proses ekskalatif. Dimana kelompok yang terdominasi akan bergerak dari
sebuah kondisi ketidakberdayaan menjadi sebuah kondisi melawan kelompok
dominan. Proses ini dipersepsikan oleh Gaventa (1985) sebagai kondisi ”power
serves to create power, powerlessness serves to re-enforce powerless-ness”
Kerangka
Kekuasaan Tiga Dimensi
Dimensi
pertama, yaitu kekuasaan, melibatkan sebuah titik tekan dari perilaku dalam
pengambilan keputusan dari sebuah isu yang terdapat konflik terbuka dari sebuah
kepentingan subjektif. Dimensi ini mencoba menjelaskan bagaimana sebuah
kelompok atau individu berusaha untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan yang
dimilikinya. Domensi kedua adalah kepentingan, merupakan perluasan dari dimensi
pertama, sehingga proses-proses yang terjadi dalam spektrum dimensi pertama
termasuk pula dalam dimensi kedua.
Dimensi
kedua mencoba menjelaskan bagaimana proses pembuatan keputusan sedapat mungkin
berangkat dari isu potensial yang didasarkan pada sebuah konflik terbuka dari
sebuah kepentuingan subjektif semata. Tindakan-tindakan politis yang diambil
dan termasuk spektrum dimensi ini menekankan kepada sebuah proses perluasan
kekuasaan serta mulai melibatkan kepentingan sebagai sebuah pencapaian yang
harus daraih. Pada titik ini tindakan-tindakan yang dilakukan dimaksudkan untuk
memperbesar kekuasaan dan kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh kelompok atau
individu. Pada dimensi ini pula kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan
dengan perluasan kekuasaan dan
kepentingan
objektif mulai disingkirkan.
Dimensi
yang ketiga adalah hegemoni, yang merupakan perluasan dari kedua dimensi
sebelumnya. Dimensi kedua dan ketiga pada dasarnya dibangun untuk memperoleh
sebuah gambaran mengenai hubungan sebab akibat dari dimensi yang pertama.
Dimensi ketiga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah kelompok atau individu
bukan hanya memperluas kekuasaan dan berusaha meloloskan kepentingan mereka,
tetapi juga berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dimiliki oleh kelompok
atau individu.
John
Gaventa (1980) mencoba menjelaskan hubungan para pelaku pilitik dalam konteks
kerangka kekuasaan tiga dimensi Luke. Model ini menganalogikan dua belah pihak
antara A dan B. Kelompok A merupakan kelompok dominan sedangkan kelompok B
kelompok yang terdominasi. Hal ini diungkapkan oleh Gaventa pada penelitiannya
yang menggunakan pendekatan tiga dimensi ini pada kasus Suku Indian Applachian
yang terdominasi oleh kelompok pengusaha yang mengambil alih lahan yang
dimiliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar