Selasa, 04 Juni 2013

51. KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DALAM KELUARGA

Sulit terbayangkan jika kehidupan manusia tanpa komunikasi. Sejak buka mata sampai menutup mata kita selalu berkomunikasi. Baik dengan diri sendiri, antar pribadi dan dengan banyak orang. Kemampuan berkomunikasi yang dimiliki semua makhluk dengan berbagai tingkat kerumitannya – dengan manusia yang memiliki tingkat komplekstitas tertinggi – dianugerahkan oleh Allah, agar semua makhluk itu dapat hidup. Hidup yang kita miliki dan jalani tidak dapat berlangsung tanpa komunikasi. Misalnya proses terjadinya komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication) yaitu seseorang memberi arti terhadap sesuatu obyek yang diamatinya atau terbersit dalam pikirannya yang terjadi di dalam atau di luar dirinya. Apabila kita tidak mampu untuk ‘memberi arti’ maka manusia sulit melangsungkan kehidupannya.
Allah sang pencipta yang memberi kemampuan berkomunikasi adalah Allah yang sangat suka dengan
komunikasi. Kasus dalam taman Firdaus adalah kisah tentang komunikasi Allah dengan manusia yang paling intim, namun dirusak oleh dosa yang ditimbulkan manusia. Maka akibat dosa yang paling parah
ditimbulkannya ialah komunikasi yang kacau. Hubungan komunikasi dengan Allah terputus, manusia tidak mampu memahami kebenaran dan kehendak Allah (bandingkan dengan kisah menara Babel), pada gilirannya komunikasi antar manusia akan rusak dan mengalami distorsi. Termasuk di dalamnya komunikasi di dalam keluarga yang seharusnya merupakan komunikasi paling ideal dalam kehidupan manusia, justru menjadi masalah yang parah. Memang tidak mudah mendefinisikan ‘keluarga yang
sukses’ seperti tema yang diharapkan. Tapi izinkan saya untuk memaknai keluarga yang sukses adalah keluarga yang bahagia, dalam tataran batin dan spiritual dimana hubungan antar anggota keluarga dalam tingkatan harmonis, yang ditunjang oleh komunikasi yang hangat.

Komunikasi Allah dan Manusia.

Kisah yang sangat kontroversi dalam Kejadian 3 adalah kisah yang penuh perdebatan dan menimbulkan banyak pertanyaan sepanjang sejarah; tapi dalam kisah ini juga mengungkapkan keintiman dan komunikasi Allah dan manusia yang paling indah. Indikator komunikasi Allah dan manusia yang paling intim ialah petama, pengenalan dan pemahaman tentang diri masing-masing. Manusia mengenali Allah yang menghampirinya, ‘mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, berjalan dalam taman waktu hari sejuk’ (Kejadian 3:8). Bagaimana mungkin manusia dengan hanya mendengar bunyi langkah Tuhan Allah mampu memprediksi dan menafsirkan bahwa itu bunyi langkahnya Allah. Hal ini membuktikan manusia sudah mengenal dan memahaminya dengan baik, sebagai akibat dari hubungan yang akrab. Inilah ciri khas penulis Kejadian (dari sumber Yahwist) yang sifatnya antropomorfisme. Di pihak Allah ketika manusia bersembunyi terhadap Tuhan Allah diantara pohon-pohon dalam taman, Allah tahu alasan mengapa manusia bersembunyi, sehingga pertanyaan ‘dimanakah engkau?’ bukan hanya sekedar pertanyaan pencarian. Tetapi pertanyaan hakikat kemanusiaan yaitu keberdosaan manusia yang mengakibatkan mereka takut dan bersembunyi, dan Allah mengenal serta memahami hal itu. Menurut Walter Lemp pertanyaan Allah diajukan karena sepatutnya manusia sebagai penjaga taman Firdaus hadir untuk menyambut ketika Allah datang dan mengenakan baju kebesaran sebab Allah yang datang, bukannya dalam keadaan
telanjang.
Indikator kedua, pengertian tentang berita (message) dan isi berita (content). Ketika ular menjadi simbol dari iblis berdialog dengan Hawa, perempuan istri Adam ini memberi jawaban (Kejadian 3:2-3) persis seperti apa yang dipesankan Allah kepadanya (Kejadian 2:16-17). Hal ini membuktikan bahwa manusia mengerti isi beritanya dan menangkapnya dengan baik. Antara Allah dan manusia mempunyai simbol dan makna yang dipahami bersama. Maka ketika buah yang dilarang itu dimakan tidak ada alasan bahwa manusia tidak mengerti atau tidak menangkap maksud Tuhan Allah. Bukan salah tafsir tapi kesadaran untuk tergoda oleh bujukan iblis.
Dapat dipahami bahwa rusaknya komunikasi disebabkan karena manusia sendiri secara sadar melakukan hal yang tidak sesuai dengan pengertian yang sebenarnya, baik dari segi berita atau isi berita. Jika di antara manusia sudah memiliki kesepahaman simbol dan makna (apalagi dalam hubungan keluarga khususnya suami istri) maka sebenarnya kesalahan tafsir adalah kecil. Mereka juga memiliki pengenalan dan pemahaman yang membuat mereka dapat akrab bahkan begitu intim satu dengan lain. Komunikasi non verbal melalui isyarat atau bahasa wajah pun dapat dikenai dengan baik.
Dalam kisah menara Babel (Kejadian 11:1-9) sekali lagi Allah menunjukkan kepada manusia bahwa manusia patut mengerti makna pentingnya komunikasi bagi diri mereka. Bahasa sebagai alat komunikasi penting dalam hidup manusia harus digunakan dengan tujuan yang benar. Manusia yang memiliki organ komunikasi paling komplit dan memiliki makna (content) berita yang kompleks dengan makna denotative dan konotatif. Ternyata justru memakainya untuk tujuan ‘kemahsyuran’ diri dalam
konteks lokalitas sempit dan eksklusif. Inilah bentuk perwujudan dari ego-sentris yang merusak komunikasi.
Jadi sebenarnya bahasa harus dipakai untuk tujuan persatuan dan kesatuan, dimanapun mereka berada (dalam keterserakan) sebab sebagai manusia mereka memiliki potensi untuk memaknai hidup ini. Sebaliknya manusia justru senang mempermainkan bahasa untuk jargon dan bersifat esoteric, yang dalam bentuk sangat sederhananya yaitu bahasa ‘eksklusif’. Penyempitan makna karena ego-sentris inilah yang menyebabkan komunikasi dalam keluarga juga menjadi terganggu. Anggota keluarga enggan memahami orang lain dan berpijak pada pengalaman, pengertian, dan tafsirannya
sendiri. Sehingga ketika terjadi perpecahan, Tuhan Allah yang disalahkan karena ‘menciptakan’ berbagai bahasa. ‘Bahasa’ Allah dimengerti oleh manusia sebenarnya, tapi manusia telah dikuasai ego-sentris akibat dosa, sebab yang terjadi sebenarnya manusia ‘menambah’ makna konotatif [ada pengertian denotatif.

Komunikasi dalam Keluarga

Komunikasi dalam keluarga adalah bentuk komunikasi yang paling ideal. Karena hirarki antara orang tua dan anak ada tapi tidak menyebabkan formalitas komunikasi di antara mereka. Perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, usia, kebiasaan dan kepribadian antar anggota keluarga khususnya suami istri tidak menjadi penghalang untuk berkomunikasi. Sejak sepasang insan menikah, komunikasi dua keluarga besar dimulai secara intensif. Modal mereka tidak hanya kasih tapi juga
platform yang sama, berdasarkan janji nikah. Namun demikian realitasnya masalah komunikasi banyak terjadi dalam keluarga bahkan sebagian besar masalah keluarga disebabkan terganggunya komunikasi.
Menurut formula Herold D. Lasswell, komunikasi terjadi dalam rumusan tentang siapa, mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa dan apa akibatnya. Kalau masalah komunikasi terjadi dapat dicari unsur manakah yang terganggu. Sebab menurut David K. Berlo, komunikasi adalah proses dimana unsur-unsur yang ada bergerak aktif, dinamis dan tidak statis. Maka alangkah naïf jika kita berpikir bahwa komunikasi akan otomatis berjalan selalu sama dan sesuai yang kita maui. Tiap kali komunikasi terjadi berarti selalu akan terjadi modifikasi. Sehingga masalah komunikasi dalam keluarga haruslah dipahami dalam konteks dinamika keluarga untuk menjalin kebersamaan. William J. Lederer dan Don D. Jackson, dalam bukunya The Mirages of Marriage mengatakan bahwa banyak mitos dalam rumah tangga yang mengakibatkan terganggunya kumuniasi dalam keluarga. Salah satu di antaranya kepercayaan bahwa orang lain pasti mengerti apa yang saya maksudkan. Padahal banyak contoh berita yang diterima ternyata bukanlah berita yang dikirimkan (the message received is not the message sent).
Beberapa masalah yang sangat menonjol dalam komunikasi keluarga ialah pertama, kepercayaan bahwa anggota keluarga pasti sudah saling sepaham dan trampil berkomunikasi. Pemahaman yang seperti ini mengakibatkan komunikasi keluarga tidak dianggap serius untuk dibina dengan baik. Secara rutin memang sudah berkomunikasi tetapi lama kelamaan tidak lagi melibatkan jati dirinya dengan sepenuh perasaan dan kemauannya. Ini yang disebut komunikasi tanpa ‘hati’ atau komunikasi sebagai formalitas belaka. Antar anggota keluarga ada pembicaraan tapi hati mereka ‘jauh’. Pada umumnya hal ini disebabkan adanya masalah pribadi yang tidak terselesaikan tapi dipaksa oleh
kondisi sebagai satu keluarga di bawah satu atap maka komunikasi tapi dipaksa sebagai basa basi. Komunikasi dalam keluarga harus diupayakan untuk terus dipelihara kehangatannya.
Kedua, komunikasi antar pribadi telah digantikan dengan alat hiburan yang menyita waktu untuk
berkomunikasi. Sebagaimana kita sadari rumah kita telah dipenuhi dengan berbagai alat hiburan yang
membantu kita menghilangkan lelah dan capai setelah seharian penuh bekerja atau sekolah. Karena itu waktu yang tersisa di dalam rumah cenderung kita pakai untuk nonton, baca, olah raga, dan main musik atau masak daripada bicara satu sama lain. Sekarang ada kecenderungan anggapan bahwa omong-omong itu menghabiskan waktu dan menimbulkan kesalahpahaman. Sebenarnya menghilangkan kesalahpahaman justru dengan memperbanyak omong-omong. Terlepas dari kepribadian yang introvert sekalipun tetap saja sebenarnya manusia membutuhkan komunikasi dengan orang lain. Maka lama kelamaan rumah terasa sebagai tempat kost atau penginapan, dan anggota keluarga merasa sebagai orang asing.
Ketiga, komunikasi yang dimulai dengan persepsinya sendiri karena adanya kecenderungan untuk lebih banyak bicara daripada mendengar. Ketika kita mulai belajar bicara hal yang paling penting ialah sebanyak mungkin bicara. Tapi kita lupa mengajarkan bahwa ‘belajar mendengar’ itu juga penting. Mendengar juga punya seni bagaimana ia memperhatikan inti berita, mempersepsi dengan baik, merespon dengan tepat. Generasi kita dari masa ke masa lebih banyak belajar bicara daripada
mendengar. Sehingga kemampuan untuk menyerap amat lemah. Hal ini terbukti ketika membaca buku, mendengarkan kuliah atau pelajaran dan berdialog tentang pokok pembicaraan yang ilmiah, cenderung lemah daya serapnya bahkan tidak menyukai. Tentulah hal ini sangat mempengaruhi cara berkomunikasi dalam keluarga.

Keluarga yang Berkomunikasi

Sulit dibayangkan jikalau dalam keluarga komunikasi sudah terputus sehingga anggota keluarga enggan untuk membangun komunikasi yang baik. Padahal melalui komunikasi masalah dapat dibicarakan dan dipahami. Victor Frankl pernah merasakan bagaimana kerinduan seseorang untuk berkomunikasi dan memaknai setiap peristiwa dalam kehidupan ini. Kamp konsentrasi di Auschwitz yang dialami Frankl telah membungkam dirinya dan mengakibatkan perubahan besar terhadap pandangan dirinya tentang hidup. Dari sikap peduli pada orang lain (karena ia seorang psikiater) hingga menjadi apatis dan kehilangan makna hidup. Maka komunikasi dalam keluarga perlu dipelihara dengan baik. Di situlah anggota keluarga dapat mengekspresikan jati dirinya dengan memberi arti terhadap setiap peristiwa yang dialaminya. 

Melalui komunikasi yang terpelihara baik tidak ada anggota keluarga yang memendam suatu masalah dalam dirinya. Ia tidak pernah takut mengutarakan pada anggota keluarga yang lain, sebab ia yakin mereka akan menanggapi dengan positif. Dan hasil positif yang didapatnya ialah keberanian mengutarakan pendapat, sebab ia telah terlatih untuk itu. Pada gilirannya ketika komunikasi secara positif telah menjadi kebiasaan dan terbentuk dengan sendirinya. Jadi keluarga yang memiliki suasana komunikasi yang hangat akan memberi kontribusi besar bagi pribadi anggota keluarga dan juga memberi sumbangsih bagi terpeliharanya komunikasi dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar